Beranda | Artikel
Sebelas Renungan Ketika Dizalimi: Renungkan Hal Ini Sebelum Membalas Dendam (Bag. 3)
9 jam lalu

Perjalanan yang berat tidak akan dapat dijalani kecuali dengan petunjuk serta bekal yang memadai. Momen dizalimi adalah bagian perjalanan berat itu. Tidaklah mudah dijalani, kecuali dengan Al-Huda, yakni petunjuk Al-Quran dan keteladanan Nabi ﷺ. Di serial terakhir ini, kembali kita lanjutkan upaya berbekal dengan ilmu menyikapi kezaliman yang disajikan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Nikmat Allah bagi yang dizalimi lebih besar daripada nikmat sesaat saat membalas dan pedihnya hukuman Allah atas perbuatan zalimnya

Sekarang renungkan berbagai nikmat Allah ﷻ bagi orang yang dizalimi dibandingkan dengan azab yang diterima oleh orang yang menzalimi. Betapa timpangnya keadaan kedua belah pihak! Maka, sungguh mudah bagi orang yang berakal sehat untuk menentukan di pihak mana ia akan menempatkan diri.

Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ pernah bersabda,

اِتَّقُوْا دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تُحْمَلُ عَلىَ الْغَمَامِ، يَقُوْلُ اللهُ وَعِزَّتِى وَجَلاَلِى لَأَنْصُرَنَّكَ وَلَوْ بَعْدَ حِيْنٍ

“Takutlah kalian pada doa orang yang dizalimi, karena sesungguhnya ia akan dibawa ke atas awan, kemudian Allah berkata, “Dengan kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, Aku pasti akan menolongmu, sekalipun nanti.” (HR at-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 3718, dinukilkan dalam Silsilah Hadits Shahih Al-Albani)

Lihatlah keterangan bahwa orang yang dizalimi mendapatkan jaminan bahwa Allah ﷻ akan menolongnya. Jika sudah ada Allah ﷻ yang menolong, siapa lagi yang dapat menakutinya?! Sedangkan orang zalim mendapatkan ancaman yang begitu menakutkan,

لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak beruntung.” (QS Al-An’am: 21)

Masih banyak ayat lainnya, tetapi cukuplah satu potongan ayat ini membuat kita takut akan berbuat zalim. Orang zalim tidak akan beruntung, selamanya demikian. Kita ketahui di zaman ini, bahwa keberuntungan adalah aspek penting, bahkan bagi golongan pebisnis dan motivator duniawi. Menurut studi Prof. Richard Wiseman, penulis buku The Luck Factor, faktor keberuntungan pada banyak orang sukses di dunia memanglah ada. Faktor keberuntungan menjadi faktor kunci pada banyak kasus kehidupan orang-orang tersebut.

Keberuntungan adalah suatu tema yang tidak bisa didefinisikan secara spesifik dan mutlak, ia kembali kepada pengalaman masing-masing orang. Namun, makna umumnya kembali kepada hal positif yang didapatkan tanpa mampu dijelaskan usaha penyebabnya. Maka, jelas ini adalah hak kuasa Allah ﷻ, tidak ada yang bisa mengintervensinya. Jika Allah ﷻ sang penentu takdir manusia sudah mengatakan orang zalim tidak akan beruntung, maka kesuksesan apa yang diharapkan?!

Selain itu, agar rasa dendam itu terobati, anggaplah bahwa orang yang menyakitimu adalah seorang dokter atau utusan dokter yang sayang kepadamu. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan permisalan ini,

فَأَذَى الْخَلْقِ لَكَ كَالدَّوَاءِ الْكَرِيهِ مِنَ الطَّبِيبِ الْمُشْفِقِ عَلَيْكَ. فَلَا تَنْظُرْ إِلَى مَرَارَةِ الدَّوَاءِ وَكَرَاهَتِهِ وَمَنْ كَانَ عَلَى يَدَيْهِ. وَانْظُرْ إِلَى شَفَقَةِ الطَّبِيبِ الَّذِي رَكَّبَهُ لَكَ، وَبَعَثَهُ إِلَيْكَ عَلَى يَدَيْ مَنْ نَفْعَكَ بِمَضَرَّتِهِ

“Maka gangguan manusia terhadapmu itu seperti obat pahit dari seorang dokter yang menyayangimu. Janganlah engkau memandang kepada pahit dan tidak enaknya obat itu, atau kepada orang yang menjadi perantara sampainya kepadamu. Tetapi pandanglah kepada kasih sayang Sang Penyembuh (Allah) yang meraciknya untukmu, dan yang mengutusnya kepadamu melalui tangan orang yang pada hakikatnya memberi manfaat kepadamu dengan mudarat yang ia timpakan kepadamu.” (Madarijus Salikin, 2: 306)

Teladani Rasulullah ﷺ dalam menyikapi kezaliman kepada dirinya

Renungilah keteladanan yang diberikan para Nabi dan Rasul, khususnya Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Sudah berlalu bahwasanya para Nabi dan Rasul adalah yang paling berat ujiannya. Said Abu Mushab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi ﷺ,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau ﷺ menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya, dan semisalnya lagi.”

Jika para Nabi adalah pengemban ujian yang paling berat, sementara derajat kenabian telah ditutup, maka tidak ada lagi orang yang memiliki ujian yang lebih berat dari mereka. Sehingga tidak ada lagi kasus ujian kehidupan yang tidak ada jawaban dan penanganannya. Semuanya sudah ada contoh penanganannya. Bukan hanya contoh penanganan dari para Nabi dan juga orang saleh terdahulu, tetapi juga sikap ihsan yang mereka teladankan.

Nabi Nuh ‘alaihissalam telah disebutkan bersabar dizalimi dan disakiti dalam dakwah selama 950 tahun. Tidak hanya sekadar bersabar, tetapi juga bersyukur bahwa dirinya dizalimi. Bukan hanya disakiti oleh orang lain, tetapi juga ditolak oleh anak dan istrinya. Bukankah Ibrahim ‘alaihissalam juga memberikan keteladanan kesabaran atas kezaliman Namrud? Begitupula Nabi Yusuf ‘alaihissalam juga memberikan keteladanan untuk tidak mendendam setelah dizalimi oleh saudara-saudaranya. Ia dibuang dan dibuatkan skenario kematian hanya karena hasad yang muncul di antara saudaranya. Namun, ketika kenikmatan dunia datang kepadanya serta dengan itu ia mampu mewujudkan dendam, ia tidak membalas kezaliman itu sebagaimana firman Allah ﷻ,

قَالَ لَا تَثۡرِيبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡيَوۡمَۖ يَغۡفِرُ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara Para Penyayang.” (QS. Yusuf: 92)

Nabi ﷺ juga pernah menggambarkan kisah seorang Nabi yang dizalimi kaumnya sampai berdarah wajahnya. Bukannya Nabi ini marah, membalas, atau meminta pertanggungjawaban, tetapi justru Nabi itu berdoa,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَايَعْلَمُونَ

“Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari no. 3477 dan Muslim no. 1792)

Syekh Alawi As-Saqqaf hafizhahullah menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan gambaran kasih sayang dan pemaafnya seorang Nabi terhadap kaumnya. Keadaan ini juga langsung dialami oleh Nabi ﷺ ketika di perang Uhud, di mana sekelompok sahabat menyelisihi perintah Nabi ﷺ hingga wajah Nabi berdarah. [1] Maka, sifat tidak mendendam adalah sifat yang melekat pada para Nabi.

Episode lain dari rangkaian keteladanan Nabi ﷺ tidak mendendam adalah ketika ada percobaan pembunuhan. Nabi Muhammad ﷺ mengisahkan,

إِنَّ رَجُلاً أَتَانِى وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَ السَّيْفَ فَاسْتَيْقَظْتُ وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِى فَلَمْ أَشْعُرْ إِلاَّ وَالسَّيْفُ صَلْتًا فِى يَدِهِ .فَقَالَ لِى: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّىّ. قَالَ قُلْتُ: اللَّهُ. ثُمَّ قَالَ فِى الثَّانِيَةِ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّى. قَالَ قُلْتُ: اللَّهُ . قَالَ فَشَامَ السَّيْفَ فَهَا هُوَ ذَا جَالِسٌ. ثُمَّ لَمْ يَعْرِضْ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

“Ada seseorang yang datang kepadaku dan ketika itu aku sedang tertidur, lalu dirinya menghunuskan pedang, aku pun terbangun, dan dia berdiri tepat di atas kepalaku, namun aku tidak merasakannya dengan pedang terhunus yang berada di tangannya. Kemudian dia berkata kepadaku, “Siapakah sekarang yang akan membelamu?” Aku menjawab, “Allah.” Kemudian dia mengulangi kembali, “Siapakah yang akan menolongmu?” Aku menjawab kembali, “Allah.” Beliau mengatakan, “Seketika itu ia menyarungkan pedangnya, lalu dirinya duduk, dan Rasulullah ﷺ tidak membalasnya.” (HR. Bukhari no. 2910 dan Muslim no. 843)

Sudahkah orang yang menzalimi anda sampai di level melakukan percobaan pembunuhan? Kebanyakan dari para pembaca tentu belum pernah mengalami level ini. Namun, seandainya qadarullah anda sudah pernah dizalimi sampai hendak dibunuh, Nabi kita ﷺ pun memberikan keteladanan untuk tidak membalasnya.

Contoh lain adalah ketika pembukaan kota Makkah, ketika gembong-gembong yang menzalimi Nabi ﷺ dan dakwahnya berkumpul. Nabi ﷺ memiliki alasan kuat untuk membalaskan kezaliman itu, beliau memiliki kekuatan, dan terlebih ada kondisi perang yang memihak kepada pasukannya. Namun, beliau tidak melakukannya. Justru dalam khotbah pertama yang dilakukan pasca Fathu Makkah, Nabi ﷺ membebaskan mereka.

Setelah mukadimah, Rasulullah ﷺ berkata, “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Quraisy menjawab, “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”

Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, sebagaimana ucapan Nabi Yūsuf ‘alaihissalām kepada saudara-saudaranya,

لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ

“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian.”

Lalu, beliau ﷺ bersabda,

اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ

“Pergilah kalian, kalian semua bebas.”

Allahu Akbar! Inilah ucapan yang mengumpulkan akhlak dan bukti kelapangan dada Nabi ﷺ. Bertahun-tahun Rasulullah ﷺ dizalimi dakwahnya, sampai 13 tahun kurang lebih. Tidak hanya dirinya, tetapi kerabatnya dan juga umatnya. Bukan sekadar digibah dan difitnah, tetapi juga kekerasan fisik sampai menyebabkan kematian. Nabi ﷺ dituduh penyihir sampai orang gila, padahal Quraisy tahu keutamaan Nabi ﷺ dan mereka pun memanfaatkan sifat amanah Nabi ﷺ. Jalan ke rumah Nabi ﷺ ditaburi duri yang menyulitkannya. Nabi ﷺ ketika salat pernah ditumpahi isian perut hewan dan dilempari kotoran.

Sahabatnya sampai ada yang disiksa hingga terbunuh seluruh keluarga intinya. Ada pula sahabatnya yang disiksa sampai luka-luka badannya. Bahkan Nabi ﷺ dan para sahabatnya terusir dari kota mereka tercinta tanpa membawa harta sekalipun. Bukannya mengambil kesempatan di momen ini untuk meminta ganti rugi, justru Nabi ﷺ memberikan kebebasan kepada musuh dakwahnya itu semua. Para ulama mengumpulkan berbagai gembong kejahatan dan juga sosok-sosok yang menyakiti Nabi secara personal yang dimaafkan Nabi ﷺ di Fathu Makkah. Jumlahnya bisa sampai belasan dan ini bukanlah perkara yang mudah.

Banyak keteladanan lainnya yang dapat kita ambil menjadi contoh serta direnungkan. Ingatlah kisah Imam Ahli Sunnah, Ahmad bin Hanbal yang merasakan pahitnya kezaliman pemimpin serta ulama Jahmiyah kala itu? Setelah kebenaran Allah ﷻ tegakkan, apakah Ahmad bin Hanbal menyerukan permusuhan personal kepada orang-orang tersebut? Apakah ia mutlak mengkafirkan? Penulis tidak pernah mendengarkan riwayat semisal ini.

Ingatlah ketika Hasan Al-Bashri menghadapi kezaliman Al-Hajjaj bin Yusuf yang hobi membantai para ulama. Hasan Al-Bashri mampu menggerakkan umat untuk membalas kezaliman itu. Namun, sikap Al-Hasan adalah tidak membalas kezaliman dengan kezaliman. Melainkan beliau mendorong umat untuk mendoakan kebaikan kepada pemimpin sembari tetap memperingatinya.

Ingat pula keteladanan dari Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menghadapi fitnah kezaliman dari dua tokoh, yakni ulama sufi Ali bin Yakub Al-Bakri As-Sufi dan para menteri Sulthan Nashir Ibnu Qalawun. Keduanya melakukan fitnah dan kezaliman yang teramat sangat kepada Ibnu Taimiyah. Namun, kemudian keadaan berbalik, Ibnu Taimiyah justru diberikan kesempatan untuk membalas kezaliman dan fitnah itu. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah tidak melakukan itu. Ia justru memaafkan dan menyerukan pembebasan serta perlindungan kepada ulama tersebut.

Dan masih banyak lagi keteladanan para salaf yang saleh dari kalangan Nabi maupun ulama yang dapat meneguhkan hati untuk tidak sibuk mendendam kepada orang yang menzalimi. Tentu orang yang berakal akan berbahagia dalam meneladani orang-orang yang mulia seperti ini. Tidak ada cela bagi orang yang mengikuti jalannya orang-orang yang terpuji akhlaknya. [2]

Tauhid akan membuat kita tidak memikirkan lagi balas dendam karena jiwa sudah dipenuhi hal yang mulia dan tidak menyukai hal rendahan

Merenungkan tauhid adalah puncak perenungan dan maqam (kedudukan) tertinggi dalam meredam dendam serta rasa sakit dizalimi. Karena merenungi bahwa Allah ﷻ adalah Zat Esa dalam mengatur alam semesta dan penentu takdir adalah obat terampuh bagi mereka yang hatinya dipenuhi dengan cinta kepada Allah ﷻ. Jika seseorang sudah fokus hanya kepada Allah ﷻ, ia tidak fokus memikirkan gangguan manusia lagi, tetapi ia fokus bahwa ini adalah bagian dari takdir Allah Al-Hakim.

Membalas dendam adalah perkara rendahan. Jika hati seseorang sudah terbiasa dengan makanan bernutrisi tinggi seperti beribadah kepada Allah ﷻ dan berakhlak mulia, maka hati tidak akan berselera dengan perkara rendahan tersebut. Sebagaimana ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa hati itu selalu bersifat lapar,

فَإِذَا رَأَى أَيَّ طَعَامٍ رَآهُ هَفَّتْ إِلَيْهِ نَوَازِعُهُ. وَانْبَعَثَتْ إِلَيْهِ دَوَاعِيهِ. وَأَمَّا مَنِ امْتَلَأَ قَلْبُهُ بِأَعْلَى الْأَغْذِيَةِ وَأَشْرَفِهَا: فَإِنَّهُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَى مَا دُونَهَا. وَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ. وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Apabila hati melihat makanan apa pun yang terlihat olehnya, maka keinginannya pun segera condong kepadanya, dan dorongan nafsunya pun bangkit menuju kepadanya. Adapun hati yang telah dipenuhi dengan makanan yang paling tinggi dan paling mulia, maka ia tidak lagi menoleh kepada sesuatu yang lebih rendah. Dan itu adalah karunia Allah, yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah memiliki karunia yang agung.” (Madarijus Salikin, 2: 307)

Cukuplah sebelas perenungan ini membuat kita menyadari bahwa hakikat kezaliman adalah perkara rendahan. Adapun seorang mukmin mencintai perkara yang tinggi, sehingga tidak berselera untuk mengurusi hal rendahan dan hina. Nabi ﷺ pernah bersabda bahwa Allah ﷻ mencintai perkara yang tinggi,

إنَّ اللهَ تعالى يُحِبُّ مَعاليَ الأُمورِ، و أَشرافَها، و يَكرَهُ سَفْسافَها

“Sesungguhnya Allah ﷻ mencintai perkara yang tinggi dan mulia, dan membenci perkara rendahan.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, 3: 131 no. 2894, dinilai sahih) [3]

Mempelajari berbagai renungan agar tidak membalas dendam adalah kebutuhan yang penting bagi seorang muslim. Karena episode kezaliman pasti kita lalui. Akan tetapi, bukan berarti kita merasa selalu menjadi korban. Ingatlah bahwa kita pasti pernah melakukan kezaliman pula. Karena sifat zalim itu sudah terinstal dalam diri kita. Maka, menyadari bahwa diri kita pun penuh kezaliman adalah salah satu obat paling mujarab agar diri ini dapat bersikap dengan bijaksana menghadapi kezaliman pihak lain.

Semoga Allah ﷻ mengampuni dan menganugerahi kita dengan kesadaran untuk berbuat islah. Aamiin.

[Selesai]

Kembali ke bagian 2

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] https://dorar.net/hadith/sharh/16706

[2] Untuk mendapatkan lebih banyak kisah semisal, silahkan menyimak 20 Sebab Kenapa Harus Memaafkan, karya Ustaz Dr. Firanda Andirja hafizhahullah.

[3] Penilaian Tim dorar.net pimpinan Syekh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf hafizhahullah, https://dorar.net/hadith/sharh/140239


Artikel asli: https://muslim.or.id/110774-renungan-ketika-dizalimi-bag-3.html